Monday, March 15, 2010

Salman Rushdie dan Permusuhan Barat terhadap Islam

taken from : http://rismandukhan.multiply.com/

imageSalman Rushdie adalah nama yang selalu mengingatkan peristiwa pahit bagi umat Islam sedunia. Tahun 1988, novelis asal berdarah India itu menerbitkan buku "The Satanic Verses" atau Ayat-ayat Setan, yang berisi penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat serta kitab suci al-Qur'an. Penerbitan buku itu membangkitkan amarah umat Islam sedunia. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini mengeluarkan fatwa murtad dan vonis mati atas Salman Rushdie. Satu bulan berikutnya, para menteri luar negeri Organisasi Konferensi Islam (OKI) menggelar sidang dan mendukung fatwa tersebut. Seiring dengan gelombang protes dunia Islam, para penulis muslim menulis puluhan buku untuk menjawab novel tulisan Rushdie.

Di saat umat Islam di seluruh dunia meneriakkan protes, kecaman dan kutukan kepada Salman Rushdie, dunia Barat khususnya Kerajaan Inggris justeru mengumumkan dukungan kepada novelis murtad tersebut.

Dunia Barat bahkan memberikan berbagai hadiah dan penghargaan diberikan kepadanya. Setelah berlalu 18 tahun sejak dijatuhkannya vonis hukuman mati oleh Imam Khomeini kepada Salman Rushdie, kaum muslimin kembali dikejutkan oleh langkah Ratu Elizabeth II yang memberikan gelar kesatriaan atau knighthood kepada Rushdie, dengan alasan perannya dalam mengembangkan kesusasteraan.

Tak syak bahwa apa yang dilakukan pemerintah Inggris itu adalah sebuah kesengajaan dan skenario yang telah dirancang untuk mempermainkan perasaan kaum muslim dan melecehkan Islam. Sebab, para pengamat pakar kesusasteraan menilai tidak ada keistimewaan seni dalam karya-karya Rushdie. Pengalaman selama ini juga menunjukkan bahwa Barat memiliki standar ganda dalam banyak hal seperti kebebasan berpendapat dan berkreasi. Jika dituntut kepentingannya, Barat akan memberikan lampu hijau kepada siapa saja untuk menulis semaunya meski tulisan itu melanggar kode etik dan melukai perasaan satu setengah milyar muslim.

Tak dipungkiri bahwa kebebasan berpendapat adalah salah satu hak yang paling asasi bagi manusia. Akan tetapi tidak ada kebebasan tanpa batas dan aturan. Jika sebuah kebebasan berbenturan dengan kesucian dan meniscayakan pelecehan terhadap nilai-nilai kebenaran, maka tidak ada lagi kebebasan yang harus dipertahankan. Sayangnya, banyak pihak yang dalam hal ini negara-negara adidaya dan Barat, tak segan mengorbankan kesucian dan kebenaran untuk kepentingannya, dengan menggunakan kedok kebebasan berpendapat.

Dukungan dan pembelaan Barat kepada Salman Rushdie dapat dilihat dari sudut pandang ini. Dengan mendukung Salman Rushdie, dunia Barat praktis telah menistakan kesucian agama ilahi dan melecehkan kebebasan itu sendiri. Media massa, para politikus dan pejabat pemerintahan di Barat tak jarang melakukan aksi pelecehan dan penistaan terhadap kesucian Islam, al-Qur'an dan Nabi Muhammad SAW. Ketika aksi tersebut direaksi keras oleh dunia Islam, mereka bersembunyi di balik kedok kebebasan berpendapat.

September 2005, Koran Denmark, Jyllan Posten memuat karikatur penghinaan terhadap Nabi SAW, tindakan yang lantas direaksi luas dan keras oleh umat muslim dunia. Saat belum ada permintaan maaf, berbagai media eletronik dan cetak di sejumlah negara Barat memuat karikatur yang sama dan menambah luka hati kaum muslimin. Rezim-rezim Barat memberikan dukungan kepada aksi media tersebut dengan memberinya label kebebasan berpendapat. Kesamaan karikatur ini dan buku ayat-ayat setan tulisan Salman Rushdie adalah pelecehan tanpa dalil. Padahal Islam adalah agama yang logis. Sementara pelecehan adalah tindakan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki argumen.

Penghinaan kepada agama khususnya Islam, biasanya dibarengi dengan penghinaan terhadap para Nabi. Dalam skenario Salman Rushdie dan ayat-ayat setannya, masalah ini nampak dengan jelas. Rushdie memperolok dan mempermainkan keagungan Nabi Muhammad SAW dan mengalamatkan berbagai tuduhan kepada beliau. Penghinaan kepada para Nabi sudah biasa dilakukan oleh para penentang kebenaran dan ajaran ilahi sejak dahulu kala. Karena itu apa yang terjadi di zaman ini adalah kelanjutan dari peristiwa di masa lalu.

Para Nabi adalah poros kebenaran dan spiritual. Karena itu, para musuh Allah berharap dapat menodai dan melemahkan agama yang dibawa para Nabi dengan merusak kesucian insan-insan pilihan Allah ini. Akan tetapi para nabi khususnya Nabi Muhammad SAW adalan wujud suci yang cahayanya tak mungkin redup hanya dengan olok-olok dan penghinaan para musuh Allah. Tak hanya para pengikut agama ilahi, orang-orang yang berpandangan bebas dan jujur akan mengakui para utusan Allah itu sebagai insan-insan yang menjadi kebanggaan sejarah dan pembimbing umat manusia. Mereka mengajarkan kebenaran, kejujuran, keadilan, persaudaraan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Sayangnya, di tengah masyarakat barat, muncul berbagai kelompok yang menutup mata mereka dari fakta tadi. Kemanusiaan dan spiritual diremehkan dan dilecehkan, sementara gerakan anti agama dan spiritualitas didukung dan dibesarkan. Salman Rushdie dijadikan pahlawan dan disemati berbagai penghargaan dan penghormatan, hanya lantaran karya-karyanya yang melecehkan agama.

Pemberian penghargaan dan gelar kehormatan terbaru kepada Rushdie oleh Kerajaan Inggris, setelah hampir dua dekade berlalu sejak ia dijatuhi vonis mati oleh almarhum Imam Khomeini, menunjukkan episode baru atau, mungkin, babak kelanjutan dari permusuhan barat terhadap agama ilahi terutama Islam. Rushdie, figur yang paling dibenci oleh umat Islam sedunia, diberi gelar kebangsawanan 'Sir' oleh Ratu Inggris. Akibatnya, dunia dibakar oleh demo serta gerakan protes dan kutukan. Dengan langkah ini, London harus bersiap-siap menghadapi perlawanan dari dunia Islam.

Di Inggris sendiri, sekitar dua juta warga muslim di negara itu tak mampu menahan rasa sakit hati. Warga muslim Inggris selama ini selalu berusaha hidup secara damai dan menghormati agama-agama yang lain. Namun yang mereka dapat adalah penistaan terhadap agama Islam. Reaksi keras mereka terhadap pemberian gelar kehormatan kepada Salman Rushdie melahirkan gelombang protes di dalam pemerintahan Inggris. Gencarnya protes tersebut memaksa sejumlah menteri di kabinet Tony Blair termasuk Menteri Luar Negeri Inggris dan beberapa anggota parlemen untuk memkritik langkah pemerintah dan Ratu Elizabeth II dalam memberikan gelar ksatria kepada Rushdie, langkah yang hanya menjadikan Inggris sebagai negara paling dibenci oleh umat Islam.

Saat memberikan gelar kehormatan tersebut, pemerintah Inggris memberikan alasan peran Rushdie dalam kesusasteraan dan kebebasan berpendapat yang dianut di Inggris. Namun tak ada satupun yang dapat mempercayai alasan itu. Bahkan tidak sedikit yang menilai sebagai tindakan pelecehan baru Tony Blair terhadap Islam menjelang kepergiannya dari kursi pemerintahan. Sebelum ini, Blair telah ikut membantu invasi dan pendudukan atas Irak, sebuah negeri muslim.

Penganugerahan gelar kehormatan kepada Salman Rushdie yang menghina dunia Islam lewat the Satanic Verses, menunjukkan langkah terprogram Barat dalam memusuhi dan memerangi Islam. Rezim-rezim di Eropa tak mampu menyembunyikan kekecewaan dan kekhawatiran mereka terhadap perkembangan Islam di sana. Mereka beranggapan bahwa dengan mencoreng nama baik Islam dan mengesankan kaum muslimin sebagai orang-orang yang bengis dan tak berperadaban, perkembangan Islam di Eropa dapat ditekan.

Tak diragukan bahwa pesatnya teknologi dan pertukaran informasi lewat media, telah membuka pintu bagi warga Eropa untuk mengenal Islam. Jika pengenalan ini dibiarkan berjalan secara alamiah, tentu warga Eropa akan menerima agama yang suci, logis dan dengan ajarannya yang menawan ini. Karena itu, para penguasa di Eropa berusaha keras untuk membendung perkembangan Islam, yang salah satu caranya adalah dengan merusak citra Islam, sehingga hakikat agama ini tertutupi bagi warga Eropa. Pemberian penghargaan dan berbagai hadiah kepada Salman Rushdie dapat dicermati lewat kacamata ini.

Yang jelas, program yang dijalankan Barat untuk membendung Islam adalah program yang terkoordinasi dengan rapi. Hal ini diungkap dalam oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri Republik Islam Iran Mohammad Ali Hosseini yang mengatakan, "Penganugerahan gelar 'Sir' kepada Salman Rushdie menunjukkan bahwa aksi penistaan dan pelecehan kesucian Islam bukan peristiwa yang terjadi secara kebetulan, tetapi sebuah gerakan yang terprogram dan terorganisasi dengan dukungan negara-negara Barat." (Irib)

No comments:

Post a Comment